Pages

Jumat, 29 November 2013

UU Kode Etik Akuntan Publik dalam menghadapi era IFRS

Akuntan publik di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tantangan terbesar akuntan publik Indonesia saat ini adalah kewajiban melaksanakan International Financial Reporting Standar (IFRS) yang sudah dimulai semenjak tahun 2010. Sementara di tahun 2013 para praktisi akuntan publik dituntut melakukan adopsi ISA secara penuh.
Secara Khusus, urutan perjanjian kerjasama ekonomi ASEAN yang dilaksanakan pada tahun 1967 di Bangkok sampai KTT ASEAN ke-9 di Bali, Indonesia tahun 2003, menghasilkan kesepakatan pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada tahun 2015. Setelah keluar blueprint MEA mengakibatkan Indonesia harus siap menghadapi tantangan yang besar ini terutama dibidang ekonomi.Para praktisi yang bergabung di IAI dan IAPI langsung berpandangan kepada arahan penggunaanInternational Financial Reporting Standar. Tujuan penggunaan standar ini Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan yang dikenal secara internasional (enhance comparability). Dampak yang akan Indonesia alami adalah Akses ke pendanaan internasional akan lebih terbuka karena laporan keuangan akan lebih mudah dikomunikasikan ke investor global.
Menurut Muliaman, Indonesia yang anggota G-20, harus siap dengan penerapan IFRS. Walaupun penerapan IFRS memang tidak mudah, karena membutuhkan sistemteknologi informasi baik yang tidak bisa dikatakan murah. Meski demikian, laporan keuangan yang disampaikan dengan terbuka dan transparan dapat mendorong kepercayaan dunia internasional sehingga dapat berinvestasi di Indonesia dan memberikan perlindungan kepada konsumen.
Selain itu, untuk dapat menerapkan IFRS dengan baik, Muliaman mengharapkan kesiapan profesi-profesi penunjang seperti notaris, aktuaris, penila dan akuntan publik harus ditingkatkan profesionalismenya. Menghadapi tantangan sekaligus kekhawatiran para akuntan publik dalam mencapai profesionalisme yaitu akuntan publik merasa di Indonesia belum ada undang-undang/peraturan pelaporan laporan keuangan berbasis internasional. Perusahaan diwajibkan menyampaikan laporan keuangan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan.
Pemerintah harus mengeluarkan uu/peraturan untuk melindungi masyarakat terutama dalam menghadapi MEA dan dunia Internasional lainnya. Maka turunlah peraturan menteri keuangan nomor: 17/PMK.01/2008 tentang jasa akuntan publik. Namun permen ini belum dirasa cukup untuk menjawab rasa kekhawatiran masyarakat dan pemerintah dikarenakan sampai saat ini belum ada undang-undang yang khusus mengatur profesi akuntan publik yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan profesi akuntan publik. Maka pemerintah beserta DPR menyetujui dan mengeluarkan Undang-undang nomor 5 tahun 2011 tentang akuntan publik. Undang-undang ini berdasarkan pertimbangan:
1.      bahwa pembangunan nasional yang berkesinambungan memerlukan perekonomian nasional yang sehat dan efisien serta memenuhi prinsip pengelolaan yang transparan dan akuntabel untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      bahwa jasa akuntan publik merupakan jasa yang digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan berpengaruh secara luas dalam era globalisasi yang memiliki peran penting dalam mendukung perekonomian nasional yang sehat dan efisien serta meningkatkan transparansi dan mutu informasi dalam bidang keuangan.
Dalam UU tersebut tercantum juga dibahas mengenai kode etik profesi akuntan. Dimana penjelasan secara teknisnya mengenai Akuntan publik pada umumnya dijelaskan di peraturan pelaksana yaitu peraturan Permen nomor 84 tahun 2012 tentang komite profesi akuntan publik. Permen ini fungsinya untuk menjelaskan dan mendukung UU nomor 5 tahun 2011 tentang akuntan publik.
Penjelasan singkat mengenai IFRS, International Accounting Standards, yang lebih dikenal sebagai International Financial Reporting Standards (IFRS), merupakan standar tunggal pelaporan akuntansi yang memberikan penekanan pada penilaian (revaluation) profesional dengan disclosures yang jelas dan transparan mengenai substansi ekonomis transaksi, penjelasan hingga mencapai kesimpulan tertentu. International Financial Reporting Standard (IFRS) merupakan standar yang dibuat oleh International Accounting Standards Boards (IASB) dengan tujuan memberikan kumpulan standar penyusunan laporan keuangan perusahaan di seluruh dunia.
Standar ini muncul akibat tuntutan globalisasi yang mengharuskan para pelaku bisnis di suatu Negara ikut serta dalam bisnis lintas negara. Untuk itu diperlukan suatu standar internasional yang berlaku sama di semua Negara untuk memudahkan proses rekonsiliasi bisnis. Perbedaan utama standar internasional ini dengan standar yang berlaku di Indonesia terletak pada penerapan revaluation model, yaitu kemungkinkan penilaian aktiva menggunakan nilai wajar, sehingga laporan keuangan disajikan dengan basis “true and fair”.
Saat ini banyak negara-negara di Eropa, Asia, Afrika, Oseania dan Amerika yang menerapkan IFRS. Standar akuntansi internasional (International Accounting Standards/IAS) di susun oleh 4 organisasi utama dunia ,yaitu Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB),Komisi Masyarakat Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal (IOSOC) dan Federasi Akuntansi Internasional (IFAC). Indonesia yang tadinya berkiblat pada standar akuntansi keluaran FASB (Amerika), mau tidak mau harus beralih dan ikut serta menerapkan IFRS karena tuntutan bisnis global.
Mengadopsi IFRS berarti menggunakan bahasa pelaporan keuangan global, yang akan membuat perusahaan bisa dimengerti oleh pasar dunia (global market). Firma akuntansi big four mengatakan bahwa banyak klien mereka yang telah mengadopsi IFRS mengalami kemajuan yang signifikan saat memasuki pasar modal global. Dengan kesiapan adopsi IFRS sebagai standar akuntansi global yang tunggal, perusahaan Indonesia akan siap dan mampu untuk bertransaksi, termasuk merger dan akuisisi lintas Negara.
Kode Etik profesi akuntan publik sebagai komitmen bersama dalam menghadapi era IFRS
Dalam meningkatkan kualitas dan kepercayaan masyarakat internasional maka akuntan publik secara bersama-sama membuat, mematuhi dan melaksanakan sistem norma, nilai danaturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional yang disebut kode etik. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi yaitu kredibilitas, profesionalisme, Kualitas Jasa, dan kepercayaan. Sedangkan Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian yaitu Prinsip Etika, Aturan Etika, dan Interpretasi Aturan Etika.
Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya. Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai Interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya.
Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota profesinya. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik merupakan etika profesional bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari Prinsip Etika yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam konggresnya tahun 1973, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi profesi akuntan Indonesia, kemudian disempurnakan dalam konggres IAI tahun 1981, 1986,1994, dan terakhir tahun 1998. Etika profesional yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam kongresnya tahun 1998 diberi nama Kode Etik IAI.
Akuntan publik adalah akuntan yang berpraktik dalam kantor akuntan publik, yang menyediakan berbagai jenis jasa yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik, yaitu auditing, atestasi, akuntansi dan review, dan jasa konsultansi. Auditor independen adalah akuntan publik yang melaksanakan penugasan audit atas laporan keuangan historis yang menyediakan jasa audit atas dasar standar auditing yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dijabarkan ke dalam Etika Kompartemen Akuntan Publik untuk mengatur perilaku akuntan yang menjadi anggota IAI yang berpraktik dalam profesi akuntan publik.
Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya. Jika perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang ditetapkan oleh badan pemerintahan yang mengatur bisnis klien atau menggunakan laporannya untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kode etik akuntan Indonesia memuat 8 prinsip etika sebagai berikut :
1) Tanggung Jawab profesi, 2) Kepentingan Publik, 3) Integritas, 4) Obyektivitas, 5) Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional, 6) Kerahasiaan, 7)  Perilaku Profesional, 8) Standar Teknis.
Kembali kepermasalahan dalam menghadapi MEA ( Masyarakat Ekonomi Asean ), Pasar bebas AFTA pada tahun 2015 mendatang dan negara-negara yang bergabung dalam G-20, para akuntan publik di indonesia secara tidak langsung harus mengikuti standar laporan keuangan IFRS. Apalagi Undang-Undang No.5 Tentang Akuntan Publik memang sudah nyata-nyata memberikan lampu hijau bagi akuntan asing untuk berkiprah di kancah nasional.
Secara tidak langsung, kondisi seperti ini bisa membuat akuntan Indonesia kehilangan pangsa pasar karena perusahaan-perusahaan di Indonesia tentunya akan lebih memilih untuk merekrut akuntan asing yg sudah lebih dulu paham tentang standard IFRS.
Dengan demikian, Akuntan Publik dalam negeri dituntut untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesionalisme serta pengetahuannya tentang standar yang ditetapkan oleh IFRS agar dapat memenuhi kebutuhan pengguna jasa dan mengemban kepercayaan publik dan dapat bertahan serta bersaing dengan Akuntan Publik Asing.

Kamis, 27 Juni 2013

Aktiva Tetap dan Aktiva Tidak Berwujud

1.      Klasifikasi
Aktiva tetap adalah harta yang dapat digunakan lebih dari satu tahun. Aktiva tetap terbagi atas :
·         Aktiva yang dapat disusutkan (depreciable assets) Contoh: Bangunan, mesin dan peralatan yang lain. 
·         Aktiva yang tidak dapat disusutkan (nondepreciable assets) Contoh: Tanah
Aktiva tidak berwujud adalah hak mutlak perusahaan terhadap sesuatu yang diperolehnya karena keistimewaan tertentu. Syarat- syarat harta tidak berwujud :
·         Ada hak mutlak
·         Ada keistimewaan tertentu
·         Ada pengeluaran biaya
Contoh : Hak paten, hak cipta, franchise, hak guna usaha, hak guna bangunan, goodwill, hak penambangan, hak pengusahaan hutan, trade mark.
Berdasarkan masa manfaatnya, aktiva tidak berwujud terbagi atas :
·         Aktiva tidak berwujud yang masa manfaatnya dibatasi oleh undang-undang. Misalnya : hak paten, hak cipta, franchise
·         Aktiva tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak dibatasi oleh undang-undang. Misalnya : goodwill dan merk dagang
2.      Perolehan Aktiva
Aktiva dapat diperoleh dengan cara :
·         Pembelian Aktiva ( tunai, kredit )
Aktiva tetap yang diperoleh dengan pembelian dalam bentuk siap pakai dan dicatat dengan sejumlah harga beli ditambah dengan biaya yang terjadi untuk menempatkan aktiva itu pada kondisi dan tempat yang siap untuk dipergunakan (PSAK Nomor 16 Buku SAK 1994). PPn yang tidak dapat dikreditkan merupakan salah satu unsur pembentuk harga perolehan, kecuali pajak itu dibebankan sebagai biaya pada tahun tersebut. Begitu juga dengan biaya transportasi, pemasangan dan jasa professional merupakan bagian dari nilai perolehan aktiva.
·         Perolehan dengan sewa guna usaha modal (leasing)
Sewa guna usaha (lease) umumnya merupakan perjanjian dengan memberikan hak kepada lease untuk menggunakan aktiva yang dimiliki lessor (penyewa) selama masa tertentu dengan membayar sejumlah uang (sebagai lease). Secara komersial lease modal (capital lease) pada hakikatnya merupakan pembelian aktiva. Sesuai dengan ketentuan perpajakkan jumlah yang dibayar pada saat pengambilalihan aktiva dari lessor merupakan nilai kapitalisasi aktiva dimaksud. Pengeluaran lease sebelum itu diperlakukkan sebagai pengeluaran sewa seperti yang berlaku dalam operating lease.
·         Perolehan dengan pertukaran
Aktiva tetap dapat diperoleh melalui pertukaran dengan aktiva nonmoneter (baik sejenis atau bukan) atau sekuritas (obligasi atau saham sendiri atau emisi badan lain). Perolehan aktiva melalui pertukaran harus dinilai menurut nilai wajar aktiva yang diterima atau diserahkan mana yang diketahui dengan pasti dan andal (PSAK No. 16 Buku Sak 1994). Selisih nilai (nilai buku aktiva lama dengan perolehan aktiva baru) dari pertukaran aktiva bukan sejenis harus diakui sebagai laba atau rugi. Untuk aktiva sejenis, pengakuan itu ditangguhkan sampai saat aktiva baru dilepaskan kembali. Pertukaran aktiva dengan sekuritas memerlukan penilaian atas keduanya. Pertukaran dengan sekuritas emisi badan lain dapat menimbulkan laba atau rugi apabila terdapat selisih nilai antara aktiva yang diperoleh dan sekuritas yang dilepas. Sebaiknya, pertukaran dengan sekuritas emisi sendiri (obligasi atau saham) dapat menimbulkan agio dan disagio. Laba dan rugi yang dilepaskan aktiva dihitung berdasarkan selisih antara nilai buku dengan harga pasar aktiva. Agio dan disagio bagi penerbit saham atau obligasi dihitung berdasarkan nilai nominal kedua sekuritas itu dibanding dengan nilai pasar sekuritas atau nilai perolehan harta yang dapat diketahui dengan pasti.
·         Perolehan dengan membangun sendiri
Praktek akuntansi komersial menyatakan harga perolehan aktiva tetap yang dibangun sendiri meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pembangunan aktiva itu hingga siap digunakan. Dalam praktek akuntansi komersial masalah perhitungan nilai aktiva yang timbul dalam membangun sendiri termasuk (1) pembebanan biaya overhead (tambahannya saja atau alokasi semua biaya overhead secara proporsional). (2) penghematan atau kerugian atas aktivitas membangun (apabila ada perbedaan dengan harga pasar). Dan (3) bunga selama masa konstruksi. Secara komersial umunya terdapat kesesuaian pendapat biaya overhead dialokasikan secara proporsional kepada biaya rutin dan biaya pembangunan aktiva. Sementara penghematan biaya (misalnya biaya pembangunan Rp 8juta, sedangkan harga pasar aktiva Rp 10juta yang berarti terdapat penghematan Rp 2juta) tidak diakui sebagai penghasilan. Sebaliknya, kerugian karena inefisiensi (yang menyebabkan harga pembangunan lebih tinggi dari nilai pasar) segera diakui sebagai kerugian atau pemborosan pada tahun yang bersangkutan. Selanjutnya bunga yang dikeluarkan atas pinjaman untuk pembangunan selama masa konstruksi dikapitalisasi (sebagai nilai perolehan aktiva).
·         Perolehan dengan hibah, bantuan, atau pemberian
Berbeda dengan akuntansi komersial yang menghitung harga pasar sebagai harga perolehan, pasal 10 ayat (4) UU PPh menyatakan (a) harga yang diperoleh karena hibah, bantuan atau pemberian yang diterima oleh badan keagamaan, social, pendidikan dan pengusaha kecil yang memenuhi persyaratan tertentu (tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pemberi dan penerima) harus dinilai sejumlah nilai buku dari pemberi dan (b) harta juga dinilai menurut harga pasar, berdasarkan KMK Nomor 604/KMK/1994 tangal 21 Desember 1994 dalam pengertian pengusaha kecil yang memenuhi persyaratan itu, termasuk koperasi, yaitu pengusaha yang jumlah aktiva tanpa tanah dan atau bangunan tidak melebihi Rp 600juta. Dengan demikian, perkiraan modal hibah (bantuan) dikredit untuk tujuan fiskal. Sebesar nilai buku aktiva itu. Perolehan karena hibah, bantuan atau pemberian yang tidak memenuhi kualifikasi dinilai menurut harga pasar.
3.      Penyusutan dan Amortisasi
1)      Ketentuan tentang Penyusutan menurut pasal 10 UU PPh
1.      Harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang menjadi objek pajak, kecuali tanah.
2.      Harta yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan tidak boleh disusutkan secara fiskal, misalnya: bangunan untuk tempat tinggal karyawan bukan di daerah terpencil yang ditetapkan Menteri Keuangan. Keuntungan penjualan harta tersebut merupakan objek PPh, namun apabila terjadi kerugian tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiskal.
3.      Penyusutan aktiva dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan hrta tersebut. Dengan persetujuan Direktorat Jenderal Pajak, penyusutan dapat dimulai pada bulan harta tersebut dipergunakan.
2)      Harga/Nilai Perolehan Aktiva Tetap
Penentuan harga prolehan aktiva tetap sangat penting karena harga perolehan menjadi dasar untuk menghitung besarnya biaya penyusutan tiap-tiap tahun. Adapun ketentuan sesuai dengan pasal 10 UU PPh, penentuan harga perolehan aktiva tetap sebagai berikut:
1.      Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.
2.      Nilai perolehan atau niai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
3.      Nilai perolehan atau nilai pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharunya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
4.      Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka bantuan sumbangan atau hibah:
a.       Yang memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi yang meneima pengalihan, sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
b.      Yang tidak memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi yang menerima pengalihan, sama dengan nilai pasar dan harta tersebut.
5.      Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka penyetoran modal bagi badan yang menerima pengalihan, sama dengan nilai pasar dari harta tesebut.
3)      Waktu Dilakukannya Penyusutan
1.      pada bulan dilakukannya pengeluaran; atau
2.      pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata; atau;
3.      dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; atau
4.      dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan yakni saat mulai berproduksi dan bukan saat diterima atau diperolehnya penghasilan
Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, penyusutan atau deperesiasi merupakan konsep alokasi harga perolehan harta tetap berwujud. Untuk menghitung besarnya penyusutan harta tetap berwujud dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1.      Harta berwujud yang bukan berupa bangunan.
2.      Harta berwujud yang berupa bangunan.
Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri dari empat kelompok, yaitu:
1.      Kelompok 1: kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 4 tahun.
2.      Kelompok 2: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 8 tahun.
3.      Kelompok 3: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 16 tahun.
4.      Kelompok 4: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 20 tahun.
Harta terwujud yang berupa bangunan dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Permanen: masa manfaatnya 20 tahun.
2.      Tidak permanen: bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari bahan yang tidak tahan lama, atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan. Masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.
Metode penyusutan yang dipergunakan adalah metode garis lurus (straight line method) dan metode saldo menurun (declining balance method). Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu metode untuk melakukan penyusutan. Metode garis lurus diperkenankan dipergunakan untuk semua kelompok harta tetap terwujud. Sedangkan metode saldo menurun hanya diperkenankan digunakan untuk kelompok harta berwujud bukan bangunan saja.
Tabel berikut menggambarkan kelompok harta berwujud, metode, serta tarif penyusutannya:
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Depresiasi
Garis Lurus
Saldo Menurun
I.  Bukan Bangunan
Kelompok 1
4 tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok 3
16 tahun
6,25%
12,5%
Kelompok 4
20 tahun
5%
10%
II. Bangunan
Permanen
20 tahun
5%
-
Tidak Permanen
10 tahun
10%
-
Dengan ijin Direktur Jenderal pajak, penyusutan dapat dimulai pada bulan harta berwujud mulai digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Menurut akuntansi ada 4 faktor yang harus dipertimbangkan dalam penghitungan besarnya biaya penyusutan suatu aktiva, yaitu:
1.   Nilai Perolehan Aktiva
2.   Nilai residu
3.   Dasar penyusutan
4.   Umur aktiva
Metode penyusutan yang diperbolehkan dalam ketentuan fiskal, yakni :
·         Metode garis lurus
Pada metode penyusutan garis lurus, biaya penyusutan aktiva dialokasikan ke tiap-tiap tahun dengan jumlah yang sama. Tarif amortisasi : 25%, 12.5%, 6.25%, 5%.
Rumus :         Penyusutan tiap tahun             =               NP- NR                                                                                                               UmurPemakaian 
Contoh:
PT. Jaya Abadi membeli sebuah aktiva yang termasuk dalam kelompok I harta berwujud seharga Rp.100.000.000 pada tanggal 10 Juli 2009, maka pembebanan atas biaya penyusutan aktiva tersebut berdasarkan metode garis lurus adalah sebagai berikut :
Tahun
Harga Perolehan
%Penyusutan
Biaya Penyusutan
Nilai Sisa Buku
2009
Rp. 100.000.000
25%
Rp. 12.500.000
Rp. 87.500.000
2010
25%
Rp. 25.000.000
Rp. 62.500.000
2011
25%
Rp. 25.000.000
Rp. 37.500.000
2012
25%
Rp. 25.000.000
Rp. 12.500.000
2013
25%
Rp. 12.500.000
Rp. 0
Keterangan :
Untuk tahun 2009 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x 25% x biaya perolehan, karena pembelian dimulai pada bulan Juli 2009 sehingga biaya yang diperkenankan hanya dari bulan Juli 2009 sampai Desember 2009 yaitu selama 6 bulan.
Untuk tahun 2013 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x 25% x biaya perolehan, karena sisa masa manfaat hanya untuk bulan Januari 2011 sampai Juni 2011 yaitu selama 6 bulan.
·         Metode saldo menurun (declining balance method)
Dasar penyusutan adalah nilai sisa buku fiskal. Penyusutan dengan metode saldo menurun adalah penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku. Cara perlakuan nilai sisa buku suatu aktiva tetap pada akhir masa manfaat yang disusutkan dengan metode saldo menurun adalah nilai sisa buku suatu aktiva pada akhir masa manfaat yang disusutkan dengan metode saldo menurun harus disusutkan sekaligus.
Contoh :
PT. Jaya Abadi membeli sebuah aktiva yang termasuk dalam kelompok I harta berwujud seharga Rp.100.000.000 pada tanggal 10 Juli 2009, maka pembebanan atas biaya penyusutan aktiva tersebut berdasarkan metode saldo menurun adalah sebagai berikut :
Tahun
Harga Perolehan
%Penyusutan
Biaya Penyusutan
Nilai Sisa Buku
2009
Rp. 100.000.000
50%
Rp. 25.000.000
Rp. 75.000.000
2010
50%
Rp. 32.500.000
Rp. 32.500.000
2011
50%
Rp. 16.250.000
Rp. 16.250.000
2012
50%
Rp. 8.125.000
Rp. 8.125.000
2013
Disusutkan sekaligus
50%
Rp. 8.125.000
Rp. 0
Keterangan :
Untuk tahun 2009 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x 50% x biaya perolehan, karena pembelian dimulai pada bulan Juli 2009 sehingga biaya yang diperkenankan hanya dari bulan Juli 2009 sampai Desember 2009 yaitu selama 6 bulan.
Deplesi
Deplesi ialah istilah yang digunakan dalam akuntansi untuk menyatakan penyusutan dalam usaha pertambangan dan pengusahaan hutan. Perpajakan menggunakan istilah lain untuk deplesi yaitu amortisasi. Sumber pertambangan dan pengusahaan hutan adalah harta yang berkurang secara berangsur-angsur karena penambangan atau penebang pohon.
Menurut ketentuan pajak, hak penambangan dan hak pengusahaan hutan termasuk harta tidak berwujud. Amortisasi menggunakan metode satuan produksi berarti persentase amortisasi dari biaya tersebut dalam setiap tahun pajak harus sama dengan penambangan yang dihasilkan setiap tahun. Karena itu, harga perolehannya dapat diamortisasikan berdasarkan metode satuan produksi dengan pembatasan sebagai berikut :
-          Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi serta pengusahaan hutan dapat diamortisasikan dengan persentase yang tidak lebih dari 20 % tahun.
Amortisasi per tahun = Jumlah penambangan/penebangan x 20%
                                       Taksiran total produksi/deposit
-          Biaya untuk memperoleh hak atau biaya-biaya yang mempunyai manfaat lebih dari satu tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi tanpa pembatasan presentase tertentu.
Amortisasi per tahun = Jumlah penambangan  x tanpa batasan
                                      Tanpa total produksi
Metode satuan = Jumlah penambangan/penebangan yg dihasilkan setahun  x 100%
                                        Taksiran jumlah seluruh produksi
Contoh : 
Suatu konsensi pertambangan ditaksir jumlah depositnya 100.000 ton. Hasil produksi 1 tahun = 10.000 ton. Berapa prosentase produksi dalam setahun ?
(10.000 / 100.000) * 100 % = 10 %
Jadi, hak penambangan perusahaan tersebut dalam setahun diamortisasikan sebesar 10%.
4.      Penarikan dan Pelepasan Aktiva
Keuntungan Pelepasan Aktiva Tetap
Dalam pasal 11 UU no.7 tahun 1983 menyatakan hanya penarikan atau pelepasan aktiva tetap golongan bangunan dan penarikan luar biasa yang dapat menghasilkan keuntungan atau kerugian yang di perhitungkan pada tahun penarikan.
Namun menurut UU No.10 tahun 1994 perlakuan berbeda demikian tidak ada lagi. Hampir sama dengan perlakuan akuntansi, semua penarikan atau pelepasan harta akan mendatangkan keutungan atau kerugian. Perhitungan keuntungan juga di terapkan pada transaksi tukar menukar harta walaupun tidak terjadi pembayaran. Begitu juga dengan pertukaran harta walaupun hartanya sama atau sejenis masih dalam satu kelompok.
Harta yang di hibahkan, diberikan atau di bantukan kepada badan keagamaan, pendidikan, social dan pengusaha kecil termasuk koperasi akan dihitung keuntungan bagi pelepas dan penghasilan bagi penerima.
Penarikan Harta dari Pemakaian
Pengalihan harta dari pemakaian dapat terjadi karena dialihkan kepada pihak lain, dijual, atau terjadi musibah terhadap harta tersebut. Pengalihan atau penarikan harta menurut UU No. 10 Tahun 1994 pasal 4 ayat (1) adalah karena :
a.       Penjualan
b.      Pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
c.       Pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota
d.      Pengalihan harta karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha
e.       Pengalihan harta karena hibah, bantuan atau sumbangan
Salah satu contoh penarikan aktiva menurut UU No.10  tahun 1994 pasal 4 ayat 1 adalah penjualan.
Contoh Soal :
Sebuah aktiva yang dibeli PT”Andi” pada oktober 2000 Rp 10 juta  dijual pada akhir Maret 2002 Rp 7.500.000,00. Apabila perusahaan itu menghitung penyusutan dengan metode saldo menurun maka jumlah keuntungan menurut akuntansi komersial dan akuntansi perpajakan  dapat dihitung sebagai berikut:
Tahun
Uraian
Komersial
Perpajakan
1994
Harga Perolehan
Depresiasi (3 bulan)
10.000.000
(1.250.000)
10.000.000
(5.000.000)
1995
Depresiasi (12 bulan)
(3.750.000)
(2.500.000)
1996
Depresiasi (3 bulan)
Nilai buku
Harga jual
Keuntungan
(625.000)
4.375.000
7.500.000
3.125.000
-
2.500.000
7.500.000
5.000.000
Berdasarkan uraian di atas, keuntungan penjualan aktiva untuk tujuan akuntansi perpajakan lebih besar 1.875.000 ( 5.000.000 – 3.125.000 ). Dengan demikian, selisih ini merupakan penutupan kembali dari selisih beban depresiasi perpajakan yang lebih besar.
Contoh-contoh penarikan harta :
Penarikan Harta Karena Dijual Menurut Fiskal
Sebuah mesin dengan nilai perolehan Rp 40.000.000 dengan akumulasi penyusutan       Rp 30.000.000 dijual dengan harga Rp 17.000.000. Biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan sebesar Rp 2.000.000
Kalkulasi
Harga jual                                                                         Rp  17.000.000
Biaya penjualan                                                                Rp    2.000.000
Penerimaan netto                                                             Rp  15.000.000
Nilai perolehan                             Rp 40.000.000
Akumulasi penyusutan                 Rp 30.000.000
Nilai sisa buku                                                                  Rp  10.000.000
Keuntungan                                                                     Rp    5.000.000
Nilai sisa buku sebesar Rp 0 dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. Keuntungan sebesar Rp 5.000.000 merupakan penghasilan yang menjadi objek pajak PPh. Apabila transaksi ini dicatat maka ayat jurnal adalah sbb:
Penerimaan kas                                        Rp 17.000.000
Akumulasi penyusutan                             Rp 30.000.000
                 Mesin                                                              Rp 40.000.000
                 Biaya                                                               Rp   2.000.000
                 Laba                                                                Rp   5.000.000
Penarikan Harta Karena Terbakar
Suatu mesin terbakar pada pertengahan tahun 1995 dengan keterangan sbb:
Nilai perolehan                                         Rp 50.000.000
Akumulasi penyusutan                             Rp 30.000.000
Nilai sisa buku                                          Rp 20.000.000
a.       Jumlah penggantian asuransi diterima pada tahun 1995 sebesar Rp 19.000.000
b.      Jumlah penggantian belum dapat diketahui dan penundaan pembebanan kerugian tidak diajukan untuk ditunda kepada Dirjen Pajak
c.       Jumlah penggantian asuransi belum dapat diketahui, karena itu penundaan kerugian diajukan utnuk ditunda kepada Dirjen Pajak
Menurut ketentuan fiskal maka penarikan harta karena terbakar dicatat :
a.       Nilai sisa buku mesin Rp 20.000.000 dicatat sebagai kerugian, sedang penerimaan pengganti asuransi Rp 19.000.000 dicatat sbagai penghasilan dalam tahun yang bersangkutan. Karena nilai sisa buku lebih besar daripada penggantian asuransi maka wajib pajak menderita rugi Rp 1.000.000 (Rp 20.000.000 – Rp 19.000.000)
Kas                                         Rp 19.000.000
Akumulasi penyusutan           Rp 30.000.000
Kerugian                                Rp   1.000.000
           Mesin                                                  Rp 50.000.000
b.      Jumlah penggantian belum dapat diketahui karena itu kerugian sebesar nilai sisa buku Rp 20.000.000 harus segera dibebankan sebagai kerugian pada tahun yang bersangkutan. Kejadian ini dapat dicatat dengan ayat jurnal sebagai berikut :
Akumulasi penyusutan           Rp 30.000.000
Kerugian                                Rp 20.000.000
           Mesin                                                  Rp 50.000.000
c.       Wajib pajak tidak perlu mencatat kerugian dalam tahun terjadinya kebakaran. Namun penyusutan mesin harus dihentikan.
Daftar Pustaka :
mukhyi.staff.gunadarma.ac.id/.../Bab+4+Aktiva
kk.mercubuana.ac.id/.../93006-7-533150212669.... -
http://2depointaja.blogspot.com/2012/10/aktiva-tetap-dan-aktiva-tiak-berwujud.html