LANDASAN SISTEM EKONOMI INDONESIA
Secara normatif landasan idiil sistem ekonomi
Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan Beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, Asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama bukan kemakmuran orang-seorang).
Dengan demikian maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan Beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, Asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama bukan kemakmuran orang-seorang).
Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat
utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan merupakan titik-tolak, proses
dan tujuan sekaligus.
Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya
sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu
Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.
Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah
butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam GBHN 1973,
1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27
(ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal UUDS tentang hak
milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN
1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945.
Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi
dan diperkirakan dikembalikan ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.
Landasan normatif-imperatif ini mengandung
tuntunan etik dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya,
rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan,
yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan
bergotong-royong.
SIAPA YANG DISEBUT RAKYAT?
SIAPA YANG DISEBUT RAKYAT?
Dari landasan sistem ekonomi Indonesia
sebagaimana dikemukakan di atas (Pancasila, UUD 1945, TAP MPRS No. XXIII/66 dan
GBHN-GBHN 1973, 1978, 1983, 1988, 1998, 1999), jelas bahwa ekonomi Indonesia
berpedoman pada ideologi kerakyatan. Apa itu kerakyatan dan siapa itu rakyat?
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang
melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang
melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah
merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dari itu
adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding
dalam mengatasnamaan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami
arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya.
Sekali lagi, siapa yang disebut rakyat?
Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemoh
yang biasanya melanjutkan bertanya, bukankah seorang konglomerat juga rakyat,
bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?
Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian
rakyat.
Rakyat
adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat
tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah the common people, rakyat adalah orang banyak. Pengertian rakyat
berkaitan dengan kepentingan publik, yang berbeda dengan kepentingan
orang-seorang. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif
atau kepentingan bersama. Ada yang disebut public
interest atau public wants, yang
berbeda dengan private interest dan private wants. Sudah lama pula orang
mempertentangkan antara individual
privacy dan public needs (yang
berdimensi domain publik). Ini Analog dengan pengertian bahwa social preference berbeda dengan hasil
penjumlahan atau gabungan dari individual
preferences. Istilah rakyat memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat
publik itu.
Mereka yang tidak mampu mengerti paham
kebersamaan (mutuality) dan asas kekeluargaan (brotherhood atau broederschap)
pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari
istilah rakyat itu,
tidak mampu memahami kemuliaan adagium vox
populi vox Dei, di mana rakyat lebih dekat dengan arti masyarakat atau ummat, bukan dalam arti penduduk yang
210 juta. Rakyat atau the people adalah
jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Seperti dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki otokrasi ekonomi, sebagaimana pula demokrasi politik menolak otokrasi politik.
Dari sini perlu kita mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah privatisasi dalam menjuali BUMN. Yang kita tuju bukanlah privatisasi tetapi adalah go-public, di mana pemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Seperti dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki otokrasi ekonomi, sebagaimana pula demokrasi politik menolak otokrasi politik.
Dari sini perlu kita mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah privatisasi dalam menjuali BUMN. Yang kita tuju bukanlah privatisasi tetapi adalah go-public, di mana pemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
PASAL 33 UUD 1945 PERLU DIPERTAHANKAN
Pasal 33 UUD 1945 harus dipertahankan. Pasal 33
UUD 1945 adalah pasal mengenai keekonomian yang berada pada Bab XIV UUD 1945
yang berjudul Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan sosial adalah bagian tak
terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Dengan menempatkan Pasal 33 1945 di
bawah judul Bab Kesejahteraan Sosial itu, berarti pembangunan ekonomi nasional
haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan
kesejahteraan sosial merupakan test untuk keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata
per-tumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisikal. Pasal 33 UUD 1945
adalah pasal yang mulia, pasal yang mengutamakan kepentingan bersama
masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang-perorang. Pasal 33 UUD
1945 adalah pasal restrukturisasi ekonomi, pasal untuk mengatasi ketimpangan
struktural ekonomi.
Saat ini Pasal 33 UUD 1945 (ide Bung Hatta yang
dibela oleh Bung Karno karena memangku ide sosio-nasionalisme
dan ide sosio-demokrasi berada dalam
bahaya. Pasal 33 UUD 1945 tidak saja akan diamandemen, tetapi substansi dan
dasar kemuliaan ideologi kebangsaan dan kerakyatan yang dikandungnya akan
diubah, artinya akan digusur, oleh sekelompok pemikir dan elit politik yang
kemungkinan besar tidak mengenal platform nasional Indonesia.
Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, bahwa Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Perkataan
disusun artinya direstruktur. Seorang strukturalis pasti mengerti arti disusun dalam konteks restrukturisasi
ekonomi, merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, menghilangkan
subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan menggantinya dengan demokrasi
ekonomi (yang participatory dan emancipatory).
Mari kita baca Penjelasan Pasal 33 UUD 1945
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang.
Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajad
hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi
jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasinya.
Bukankah sudah diprediksi oleh UUD 1945 bahwa orang-orang yang berkuasa akan
menyalahgunakan kekuasaan, akan habis-habisan ber-KKN karena melalaikan asas
kekeluargaan. Bukankah terjadinya ketidakadilan sosial-ekonomi mass poverty,
impoverishmen dan disempowerment terhadap rakyat karena tidak hidupnya asas
kekeluargaan atau brotherhood di antara kita? Dalam kebersamaan dan asas
kekeluargaan, keadilan sosial-ekonomi implisit di dalamnya.
Dari Penjelasan UUD 1945 juga kita temui kalimat.
Meskipun dibikin UUD yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila
semangat penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat
perorangan, UUD itu tentu tidak ada artinya dalam praktek. Ini kiranya jelas,
self-explanatory.
Pasal 33 UUD 1945 akan digusur dari konstitusi
kita. Apa salahnya, apa kelemahannya? Apabila Pasal 33 UUD 1945 dianggap
mengandung kekurangan mengapa tidak disempurnakan saja dengan ayat-ayat
tambahan, dengan tetap mempertahankan 3 ayat aslinya.
Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya makin relevan dengan
tuntutan global untuk menumbuhkan global solidarity dan global mutuality. Makin
berkembangnya aliran sosial-demokrasi (Anthony Giddens, Tony Blair, dll) makin
meningkatkan relevansi Pasal 33 UUD 1945 saat ini. Saat ini 13 dari 15 negara
Eropa Barat menganut paham sosial-demokrasi (Dawam Rahardjo, 2000).
Sumber : http://indonesiaindonesia.com/f/8803-sistem-ekonomi-indonesia/
0 komentar:
Posting Komentar