Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam catatan refleksi akhir tahun, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) melansir 2011 adalah tahun tahun pembajakan anggaran yang dilakukan para elit politik dan birokrat. Pembajakan anggaran itu berakibat pada pengabaian kesejahteraan rakyat.
Demikian disampaikan Sekjen Seknas FITRA, Yuna Farhan, dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa t(27/12/2011).
Menurut Yuna, pembajakan anggaran terjadi dengan semakin terkuaknya praktik mafia anggaran yang dikonfirmasai dari kasus Kemenpora, Kemennakertrans, dan penetapan anggota Badan Anggaran DPR, Wa Ode Ida, sebagai tersangka. Praktik ini mengkonfirmasi Bandan Anggaran DPR sumber praktik mafia anggaran.
"Pembajakan anggaran juga dilakukan secara terang-terangan dengan praktik menghamburkan uang rakyat untuk kepentingan elit politik dan birokrasi pada tahun ini," ujarnya.
Ia mencontohkan praktik pembajakan anggaran yang telah menyakiti hati rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Seperti usulan pembangunan gedung baru DPR, pembelian pesawat Presiden, dan belanja perjalanan yang menjadi ajang para brikorat di DPR dan kementerian.
Menurutnya, pembajakan anggaran terjadi karena lemahnya penegakan hukum dan kondisi penganggaran DPR, kementerian, dan partai politik, yang masih ditutup-tutupi alias tidak transfaran. Efektifitasnya alokasi anggaran pemberantasan korupsi menunjukan lemahnya pengembalian aset yang dikorupsi. "Ini tidak sebanding dengna alokasi anggaran untuk pemberantasan korupsi," ujarnya.
Akibat pembajakan anggaran ini, lanjut Yuna, kebijakan anggaran pendidikan dan kesehatan masih tidak efektif.
Meski pemerintah telah memenuhi 20 persen anggaran pendidikan, justru yang terjadi anggaran tersebut menjadi "keranjang sampah" yang menampung berbagai hal. Anggaran pendidikan yang tersebar di 19 kementerian atau lembaga hingga setengah alokasi anggaran pendidikan justru habis digunakan untuk gaji pegawai. Sementera di Undang-udang Kesehatan, pemerintah tidak memenuhi anggaran 5 persen anggaran kesehatan.
Dengan begitu, kata Yuna, tidak mengherankan jika Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang merupakan tolak ukur pendidikan dan kesehatan, justru mengalami kemunduran.
Ia menambahkan, pembajakan anggaran juga menyebabkan kesejahteraan masyarakat di daerah terabaikan akibat kebijakan dana perimbangan yang disortif dan carut-marut di daerah. Kebijakan dana perimbangan di daerah, 50 persen APBD juga tersedot untuk gaji pegawai.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar